Hari ke-2 (Kupang-Ende-Moni) – Seharusnya kami berangkat ke Maumere menggunakan Wings Air jam 06.30, tapi malamnya kami dapat pesan singkat yang mengatakan bahwa pesawat delay hingga jam 09.00. Sekitar jam 08.00 tiba di bandara El-Tari Kupang, kami langsung check-in sambil mengurus bagasi. Sampai ruang tunggu ternyata pesawat delay lagi sampai jam 10.00, kemudian kami mendapat nasi kotak. Ketika sudah berada di dalam pesawat (saya duduk dekat jendela di bagian kanan), saya melihat bagian baling-baling kanan sedang diutak-atik oleh teknisi. Saya pikir hanya akan sebentar.
Ternyata sampai setengah jam pesawat belum take off juga. Seluruh penumpang termasuk saya dan teman-teman sudah gusar. Harap-harap cemas berbuah senang ketika melihat teknisi menutup mesin baling-baling tanda perbaikan sudah selesai dan pesawat siap berangkat. Eng ing eng, ternyata saat si teknisi hendak menggeser tangga, tanpa sengaja dia melihat sejumlah cairan merembes keluar dari mesin. Hati saya langsung kecut melihat kejadian itu. Si teknisi pun kembali membuka mesin di bagian baling-baling.
Belakangan saya tahu dari saudara saya yang bekerja di Wings Air kantor Jakarta, cairan itu adalah oli yang merembes karena selangnya bocor. Akhirnya karena tidak tahan menunggu di dalam pesawat, semua calon penumpang turun kemudian menyerbu counter Wings Air untuk meminta kepastian. Banyak calon penumpang termasuk saya dan teman-teman terpancing emosi karena staf di counter tidak banyak membantu untuk memberi solusi, melainkan hanya memberi janji angin surga. Bahkan ada satu calon penumpang yang menendang-nendang meja dan kursi sambil menangis meraung-raung. Pasalnya, dia harus menghadiri pemakaman sang Opa di Larantuka, yang rencananya jam 2 siang peti mati sudah ditutup, jadi sebelum jam 2 dia sudah harus berada di Larantuka. Gara-gara hal ini penyakit GERD saya sempat kumat, saya sempat sesak nafas, karena asam lambung meningkat akibat emosi saya ikut terpancing.
Setelah emosi reda, saya berkomunikasi dengan saudara yang bekerja di Wings Air kantor Jakarta untuk menanyakan perkembangan kejadian ini. Menurut saudara saya, alat khusus untuk memperbaiki kerusakan baru akan tiba di Kupang dari Surabaya sekitar jam 14.30 dan kemungkinan pesawat baru akan berangkat jam 16.00. Sementara waktu terus beranjak siang, saya dan teman-teman berusaha mencari alternatif maskapai lain yang berangkat ke Maumere hari itu juga. Sayangnya, di atas jam 12 siang sudah tidak ada penerbangan ke Maumere untuk semua maskapai. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah rute ke Ende. Setelah memaksa staf di counter Wings Air untuk mengurus kepindahan kami menggunakan maskapai lain dengan tujuan Ende, jam 14.00 kami take off ke Ende menggunakan maskapai Trans Nusa. Tentunya selisih harga tiket pesawat ditanggung oleh Wings Air. Sebelumnya staf counter menawarkan penggantian uang tiket dengan cara menuliskan formulir kemudian diserahkan ke mereka. Katanya nanti akan diproses pengembalian uang tiketnya. Tentu saja kami nggak mau dong, karena belum jelas juga kapan uang kami akan dikembalikan.
Sore harinya saya dapat kabar dari saudara saya, bahwa pesawat Wings Air yang tadi rusak baru berangkat ke Maumere jam 16.30. Itupun karena ada tambahan insiden teknisinya salah pasang selang. Duh, ngeri nggak sih terbang dengan kondisi pesawat yang rusak kayak gitu.
Kami sudah terlanjur memesan mobil rental di Maumere karena rencananya sebelum ke Desa Moni, kami mau mampir dulu ke Patung Kristus Raja, gereja Kathedral St. Yoseph, bukit Nilo, Gereja Tua Sikka, pantai Paga, desa Jopu (suku Lio). Namun karena gagal terbang ke Maumere, akhirnya saya minta ke supir rental untuk menjemput kami di Ende. Perjalanan Maumere-Ende membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Sambil menunggu supir rental datang, kami menyewa mobil untuk keliling Ende. Kami sempat mengunjungi rumah bekas pengasingan Bung Karno (sayang saat kami ke sana penjaganya sedang tidak ada sehingga kami tidak bisa masuk ke dalam rumah bersejarah itu), pohon sukun bersejarah karena konon di bawah pohon itulah Bung Karno mendapat inspirasi untuk merumuskan Pancasila, pasar tenun ikat, gereja katedral Ende dan pantai Ende.
Ende kotanya tidak terlalu besar, 70% penduduknya beragama Katolik, yang unik di seberang kota Ende ada sebuah pulau, bernama Pulau Ende, di pulau ini justru 100% penduduknya beragama Islam. Ba’da magrib, kami kembali ke bandara H. Hasan Aroeboesman, Ende karena sudah ditelepon pak supir mobil rental kalau dia sudah ada di bandara. Waktu tempuh Ende-Desa Moni membutuhkan waktu 2 jam melalui jalur berkelok-kelok yang lumayan bikin pusing. Kami tiba di Desa Moni sekitar jam 21.00 disambut kondisi gelap gulita. Ternyata malam itu di Desa Moni sedang padam listrik. Parahnya hotel tempat kami menginap tidak mempunyai genset. Niat untuk men-charge segala gadget mulai dari ponsel, baterai kamera dan lain-lain gagal total. Mandi dan membereskan barang-barang pun terpaksa hanya ditemani sebatang lilin. Kondisi agak menyeramkan karena di hotel sebesar itu tamu yang menginap hanya kami berlima.
Salam,